KAJIAN PRANIKAH - MKU PAI UNNES 2018



KAJIAN PRANIKAH
Bersama Pak Agung Kuswantoro


Pada Ahad, 15 April 2018 kemarin telah diadakan Sekolah Pranikah oleh Pak Agung Kuswantoro, dosen MKU PAI Rombel 15 Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang bertempat di Masjid Nurul Iman, beralamat di Gang Pete Selatan, Sekaran, Gunungpati, Semarang. Disepakati mulai pukul 09.00 WIB dengan diawali sholat dhuha bersama.

Namun kajian ini tidak dikhususkan untuk mahasiswa rombel 15 saja, melainkan terbuka untuk umum. Menyadari akan banyaknya mahasiswa yang berhalangan hadir atau enggan hadir, dan berhubung itu adalah hari libur dan hari yang biasa dimanfaatkan untuk pulang kampung. Dan benar saja, jumlah peserta kajian yang hadir hanya 1/3 dari jumlah seluruh mahasiswa yang seharusnya, itupun ada beberapa peserta dari umum. 

Tema kajian ini bukan sekedar asal cetus diadakan, namun memang ada relevansi dengan salah satu bab dalam buku pegangan MKU yang membahas tentang munakahat. Serta keterkaitannya dengan jiwa muda millennial yang gandrung pada hal cinta, yang terkadang tidak disadari akan menjerumus kepada hal maksiat atau perzinaan tanpa disadari. Sehingga diadakanlah kajian/sekolah pranikah dalam rangka kuliah, membekali dan menasehati. Bukan berarti sebuah pembelokan karena tidak umum dari kajian – kajian yang biasanya membahas sekularisme dan isme – isme yang lain.

Kata kunci yang pertama penulis dapatkan dari kajian ini adalah kata ­Naik Status. Pemahaman tentang naik status, adalah ketika seorang laki – laki menjadi seorang suami kemudian menjadi seorang ayah, dan seterusnya. (laki-laki – suami – Ayah – dst). Pun berlaku dengan seorang perempuan yang nantinya akan menjadi istri kemudian menjadi ibu. (perempuan – istri – ibu – dst). Itulah yang disebut naik status, adanya pengurangan/penambahan hak dan kewajiban yang diakibatkan karena sudah berbeda status.

Pelurusan untuk anak muda, menyoal pacaran dan pinangan. Bahwa 2 hal tersebut sama sekali tidak disebut naik status karena belum ada ikatan yang sah dalam pandangan agama. Sehingga tidak benar jika merasa punya hak dan kewajiban yang seharusnya muncul setelah menikah, malah dipahamkan sesuatu yang sah – sah saja ketika pacaran. Ini yang baru namanya pembelokan paham, yang akhirnya akan ada pihak yang dirugikan. Contoh, bukan hal tabu lagi pasangan muda – mudi yang menyebut jalinan hubungan mereka dengan istilah “Pacaran” bedua – duaan tanpa ada mahromnya, tanpa merasa malu dan risih, dan sebagainya hingga pada tingkat keparahan yang tidak perlu penulis sebutkan. Karena hal tersebut sudah menjadi hal umum. Mirisnya, justru pada era ini muda – mudi yang kukuh menjaga diri dari larangan Allah malah dipandang nyeleneh atau ‘tidak umum’.

Menikah adalah suatu perjanjian yang suci dan berat karena melibatkan Allah. Butuh kematangan dan komitmen untuk sampai pada tahap ini. Bukan hanya sekedar main – main karena yang dibayangkan adalah nikmatnya saja. Justru menikah adalah hidup baru yang akan merubah status, dan penyambutan segala pahit manisnya kehidupan.

Kembali membahas tentang jiwa muda dan pranikah. Disebutkan dalam Al-Qur’an Surah An – Nur : 26 ”Wanita – wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita – wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).” Yang intinya laki – laki yang baik maka akan berjodoh dengan wanita yang baik dan sebaliknya. Pun dengan laki – laki yang kurang baik maka akan berjodoh dengan wanita yang kurang baik dan sebaliknya.

Maka, kata kuncinya adalah memantaskan diri. Masing – masing kita pasti akan mendapatkan jodoh yang tidak lain adalah cerminan dari diri kita. Yang dimaksud dengan jodoh itu harus diusahakan, bukan berarti lantas kita mencari – cari dan mengumbar kata cinta sana – sini untuk mendapatkan yang pas. Justru dengan selalu berusaha memperbaiki diri dalam rangka menjemput jodoh dari Allah SWT. Dengan kita selalu memperbaiki diri maka hingga pada saatnya jodoh akan datang dengan jalan yang terkadang tidak pernah terpikirkan oleh kita. Karena kita ingin mendapatkan jodoh yang baik, sering pula berdoa untuk mendapatkan jodoh yang begini dan begitu, maka usaha kita adalah bagaimana menjadikan diri kita pantas mendapatkan jodoh dengan kriteria yang kita harapkan. Itulah yang dimaksud menjemput jodoh.

Ketika sudah hampir sampai pada tahapan menikah, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan :
1.      Senantiasa bertawakkal kepada Allah atas segala usaha yang sudah dilakukan.
2.      Takut menikah merupakan suatu kekeliruan.
3.      Kunci pernikahan adalah Niat dan Komitmen, maka carilah yang berkomitmen. Bukan sekedar main – main seperti budaya pacaran ala – ala anak muda.
4.      Mahar dari calon suami kepada calon istri itu harus murni harta pribadi calon suaminya, bukan harta orang tuanya apalagi hasil berhutang.
5.      Dan untuk pihak wanita, yang terpenting dari mahar itu bukan nominal/jumlah/ukuran, melainkan pada kegunaan/kebermanfaatan mahar bagi dirinya.

Dan ketika sudah sampai tahap berkeluarga :
1.      Bagi kaum perempuan harus menyadari dan jagalah hati untuk tidak terjadi kecemburuan atau kesalahpahaman kepada suami terkait laki – laki yang sudah berstatus suami, tetap mempunyai kewajiban yang lebih besar/berat kepada ibunya dibandingkan istrinya.
2.      Sedangkan perempuan yang berstatus sebagai istri secara hukum agama memiliki kewajiban yang lebih berat kepada suaminya dibanding terhadap kedua orang tuanya. Bukanlah sebagai diskriminasi gender, tapi ada sebab – sebab hukum Islam mengatur dalam urusan rumah tangga sedemikian rupa.

Carilah pasangan yang baik dalam hal iman dan akhlaqnya, dengan cara memperbaiki iman dan akhlaq diri sendiri tentunya, jika ingin selamat dunia akhirat. Kepasrahan kepada Allah dan orang tua itu penting. Karena dalam sabda Nabi SAW “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (Hasan. at-Tirmidzi : 1899,  HR. al-Hakim : 7249, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir : 14368, al-Bazzar : 2394).
Jika tidak ada restu dari orang tua, maka tidak ada pernikahan, hingga mendapat restunya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA MENGENTRI DATA TRANSAKSI DI MYOB V18 Penjualan, Pembelian, Retur

LAPORAN PRAKERIN ( PKL ) DI PD BPR BKK Purwokerto Cabang Ajibarang

Pidato Bahasa Inggris SPEECH Pergaulan yang Bermoral dan Islami